PEMBELAJARAN BAHASA DALAM KONTEKS SOSIAL
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Bahasa merupakan sebuah ujaran yang di keluarkan
melalui alat ucap manusia yang dijadikan sebagai sarana komunikasi bagi
masyarakat secara umum. Melalui bahasa manusia bisa berinteraksi dengan
antarsesamanya sehingga mampu menciptakan isyarat-isyarat yang digunakan oleh
orang-orang untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, emosi dan keinginan. Dengan
definisi lain, bahasa adalah alat yang digunakan untuk mendiskripsikan ide,
pikiran atau tujuan melalui struktur kalimat atau sistem yang dapat dipahami
oleh orang lain. Jika bahasa tidak bersifat sistematis atau tidak berstruktur
maka bahasa itu tidak mempunyai arti.
Bahasa sangat erat kaitannya dengan masyarakat, karena
bahasa merupakan suatu budaya atau hasil karya manusia yang dapat diwariskan
kepada anak turunannya. Dalam setiap komunikasi atau proses interaksi maka
terjadi peristiwa tutur dan tindak tutur. Sedangkan ilmu yang mempelajari
tentang hubungan timbal balik antara bahasa masyarakat adalah Sosiolinguistik,
serta intraksi antarmasyarakat merupakan sebuah wacana di dalam kehidupan
masyarakat yang digunakan untuk berkomunikasi.
Salah satu objek pemikiran manusia adalah bagaimana
manusia dapat berbahasa. Pendapat para ahli tentang belajar bahasa tersebut
bermacam-macam. Di antara pendapat mereka ada yang bertentangan namun ada juga
yang saling mendukung dan melengkapi. Pemikiran para ahli tentang teori belajar
bahasa ini begitu variatif dan menarik.
Bahasa dijadikan sebuah pembelajaran, di mana bahasa
ini mengkaji tentang bagaimana proses pemerolehan bahasa pertama (B1) dan
bagaimana proses pembelajaran bahasa kedua (B2). Di dalam pembelajaran bahasa
tidak akan pernah terlepas dengan teori-teori pendukung dalam pembelajaran. Pada
kajian ini membahas tentang pembelajaran bahasa dalam konteks sosial, maka
teori-teori yang digunakan, yakni teori kognitivisme, kontruktivisme,
fungsional, dan humanisme. Keterkaitan pembelajaran bahasa dalam konteks sosial
sangat erat kaitannya dengan pemerolehan bahasa kedua (B2) di mana pada
intraksi sosial yang lebih berperan aktif yakni kognitif seorang anak dan
bagaimana seorang anak bisa memfungsikan bahasa sebagai alat komunikasi.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan permasalahan yang telah dipapar pada latar
belakang di atas, maka yang dijadikan sebagai rumusan masalah sebagai berikut:
1.
bagaimanakah
bentuk pembelajaran bahasa dalam kontek sosial?
2.
Apa saja teori
yang digunakan dalam pembelajaran bahasa dalam konteks sosial?
1.3 Rumusan
Masalah
Dari
rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam makalah ini
sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui
pembelajaran bahasa dalam konteks sosial.
2.
Untuk mengetahui
teori yang digunakan dalam pembelajaran bahasa dalam konteks sosial.
1.4 Manfaat
Penulisan
Manfaat
yang diharapkan dapat diperoleh dari penulisan makalah ini adalah dapat
menambah khazanah teoretis baik bagi penulis maupun para pembaca khususnya
berkaitan dengan teori
pembelajaran dalam konteks sosial Sehingga para pembaca dapat mengetahui suatu
teori pembelajaran bahasa.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pembelajaran
Pembelajaran
merupakan penguasaan atau pemerolehan pengetahuan tentang suatu subjek atau
sebuah keterampilan dengan belajar, pengalaman, atau instruksi (Brwon, 2000:
8). Komponen difinisi di dalam pembelajaran, kita bisa mendapatkan seperti yang
kita dapati dalam bahasa, yakni.
1.
Belajar adalah
menguasai atau “memeroleh”
2.
Belajar adalah
mengingat-ingat informasi atau keterampilan
3.
Mengingat-ingat
itu melibatkan sistem penyimpanan, memori, organisasi kognitif.
4.
Belajar
melibatkan perhatian aktif-sadar pada dan bertindak menurut peristiwa-peristiwa
di luar serta di dalam organisme.
5.
Belajar itu
relatif permanen tetapi tetapi tunduk pada lupa.
6.
Belajar itu
melibatkan berbagai bentuk latihan, mungkin latihan yang ditopang dengan
imbalan dan hukuman.
7.
Belajar adalah
sebuah perubahan dalam perilaku.
2.2 Toeri
Pembelajaran
Dalam penerapan teori yang digunakan pada persfektif
pembelajaran bahasa dalam konteks sosial, yakni teori Kognitivisme, Konstruktivisme, dan Fungsional.
a.
Teori Kognitivisme
Golongan kognitivistik mencoba mengusulkan pendekatan baru
dalam studi pemerolehan bahasa. Pendekatan tersebut mereka namakan pendekatan
kognitif. Jika pendekatan kaum behavioristik bersifat empiris maka pendekatan
yang dianut golongan kognitivistik lebih bersifat rasionalis. Konsep sentral
dari pendekatan ini yakni kemampuan berbahasa seseorang berasal dan diperoleh
sebagai akibat dari kematangan kognitif sang anak. Mereka beranggapan bahwa
bahasa itu distrukturkan atau dikendalikan oleh nalar manusia. Oleh sebab itu
perkembangan bahasa harus berlandas pada atau diturunkan dari perkembangan dan
perubahan yang lebih mendasar dan lebih umum di dalam kognisi manusia. Dengan
demikian urutan-urutan perkembangan kognisi seorang anak akan menentukan
urutan-urutan perkembangan bahasa dirinya.
Laughlin
dalam Elizabeth (1993: 54) berpendapat bahwa dalam belajar bahasa seorang anak
perlu proses pengendalian dalam berinteraksi dengan lingkungan. Pendekatan
kognitif dalam belajar bahasa lebih menekankan pemahaman, proses mental atau
pengaturan dalam pemerolehan, dan memandang anak sebagai seseorang yang
berperan aktif dalam proses belajar bahasa.
Selanjutnya
menurut Piaget dalam Mansoer Pateda (1990: 67), salah seorang tokoh golongan
ini mengatakan bahwa struktur komplek dari bahasa bukanlah sesuatu yang
diberikan oleh alam dan bukan pula sesuatu yang dipelajari lewat lingkungan.
Struktur tersebut lahir dan berkembang sebagai akibat interaksi yang terus
menerus antara tingkat fungsi kognitif si anak dan lingkungan lingualnya. Struktur tersebut telah tersedia
secara alamiah. Perubahan atau perkembangan bahasa pada anak akan bergantung
pada sejauh mana keterlibatan kognitif sang anak secara aktif dengan
lingkungannya. Proses belajar bahasa terjadi menurut pola tahapan perkembangan
tertentu sesuai umur.
b.
Teori Konstruktvisme
Jean
Piaget dan Leu Vygotski adalah dua nama yang selalu diasosiasikan dengan
kontruktivisme. Ahli kontruktivisme menyatakan bahwa manusia membentuk versi
mereka sendiri terhadap kenyataan, mereka menggandakan beragam cara untuk
mengetahui dan menggambarkan sesuatu untuk mempelajari pemerolehan bahasa
pertama dan kedua. Pembelajaran harus dibangun secara aktif oleh pembelajar itu
sendiri dari pada dijelaskan secara rinci oleh orang lain. Dengan demikian
pengetahuan yang diperoleh didapatkan dari pengalaman.
Namun
demikian, dalam membangun pengalaman siswa harus memiliki kesempatan untuk mengungkapkan
pikirannya, menguji ide-ide tersebut melalui eksperimen dan percakapan atau
tanya jawab, serta untuk mengamati dan membandingkan fenomena yang sedang
diujikan dengan aspek lain dalam kehidupan mereka. Selain itu juga guru
memainkan peranan penting dalam mendorong siswa untuk memperhatikan seluruh
proses pembelajaran serta menawarkan berbagai cara eksplorasi dan pendekatan.
c.
Teori Fungsional
Dengan
munculnya kontruktivisme dalam dunia psikologi, dalam tahun-tahun terakhir ini
menjadi lebih jelas bahwa belajar bahasa berkembang dengan baik di bawah
gagasan kognitif dan struktur ingatan. Para peneliti bahasa mulai melihat
bahwa bahasa merupakan manifestasi kemampuan kognitif dan efektif untuk
menjelajah dunia, untuk berhubungan dengan orang lain dan juga keperluan
terhadap diri sendiri sebagai manusia.
Halliday dan wilkins mempelopori teori fungsional. Teori ini berkembang
pada tahun 1960-an dan 1970-an. Ia mengatakan teori fungsional mengkaji bahasa
dari segi struktur dan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi. Di samping itu, mereka
menganggap bahwa bahasa sebagai alat pertuturan. Ia menyetujui bahwa kewujudan
variasi dalam penggunaan bahasa tidak boleh dinafikan. Penggunaan bahasa dapat
menggambarkan fikiran dan emosi penutur.
Lebih
lagi kaedah generatif yang diusulkan di bawah naungan nativisme itu bersifat
abstrak, formal, eksplisit dan logis, meskipun kaidah itu lebih mengutamakan
pada bentuk bahasa
dan tidak pada tataran fungsional yang lebih dari makna yang dibentuk dari makna
yang dibentuk dari interaksi sosial.
a. Kognisi dan perkembangan bahasa
Piaget
menggambarkan penelitian itu sebagai interaksi anak dengan lingkungannya dengan
interaksi komplementer antara perkembangan kapasitas kognitif perseptual dengan
pengalaman bahasa mereka. Penelitian itu berkaitan dengan hubungan antara
perkembangan kognitif dengan pemerolehan bahasa pertama. Slobin menyatakan
bahwa dalam semua bahasa, belajar makna bergantung pada perkembangan kognitif
dan urutan perkembangannya lebih ditentukan oleh kompleksitas makna itu dari
pada kompleksitas bentuknya. Menurut dia ada dua hal yang menentukan model:
1)
Pada asas fungsional, perkembangan diikuti oleh perkembangan kapasitas
komunikatif dan konseptual yang beroperasi dalam konjungsi dengan skema batin
konjungsi.
2)
Pada asas formal, perkembangan diikuti oleh kapasitas perseptual dan
pemerosesan informasi yang bekerja dalam konjungsi dan skema batin tata bahasa.
b. Interaksi Sosial dan Perkembangan
Bahasa
Akhir-akhir
ini semakin jelas bahwa fungsi bahasa berkembang dengan baik di luar pikiran
kognitif dan struktur memori. Di sini tampak bahwa kontruktivis sosial
menekankan prespektif fungsional. Bahasa pada hakikatnya digunakan untuk
komunikasi interaktif. Oleh sebab itu kajian yang cocok untuk itu adalah kajian
tentang fungsi komunikatif bahasa, fungsi pragmatik dan komunikatif dikaji
dengan segala variabilitasnya.
2.3 Bahasa
Dalam Konteks Sosial
Akhir-akhir ini semakin jelaslah bahwa fungsi bahasa berkembang dengan
baik di luar pikiran kognitif dan struktur memori. Di sini tampak bahwa
konstruktivis sosial menekankan pada perspektif fungsional. Dalam model
resiprokalnya tentang perkembangan bahasa, Holzman (1984) menyatakan bahwa
sebuah sistem behavioral resiprokal bekerja di antara bahasa yang dikembangkan
bayi-anak dan pengguna bahasa dewasa yang kompeten di dalam peran socializing-teaching-nurturing.
Beberapa penelitian mengkaji interaksi antara pemerolehan bahasa anak dan
pembelajaran tentang bagaimana sistem itu bekerja di dalam perilaku manusia.
Bahasa adalah alat interaksi yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan
tumbuh kembangnya manusia sebagai pengguna bahasa itu sendiri. Menurut Abd
al-Majid (1952:15), bahasa adalah kumpulan isyarat yang digunakan oleh
orang-orang untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, emosi dan keinginan. Dengan
definisi lain, bahasa adalah alat yang digunakan untuk mendiskripsikan ide,
pikiran atau tujuan melalui struktur kalimat atau sistem yang dapat dipahami
oleh orang lain. Jika bahasa tidak bersifat sistematis atau tidak berstruktur
maka bahasa itu tidak mempunyai arti.
Bahasa dalam konteks sosial meliputi tataran Sosiolinguistik, Wacana, dan
Psikolinguistik.
Sosiolinguistik: Hubungan antara bahasa
dengan konteks sosial tersebut dipelajari dalam bidang Sosiolinguistik, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin sosiologi dan
linguistik. Menurut Abdul chaer dan Leoni Agustina (linguistik
perkenalan awal, 2004: 2-4) mendefinisikan sosiologi merupakan kajian yang
objektif dan ilmiah mengenai manusia di dalam
masyarakat dan mengenai lembaga-lembaga, dan proses sosial yang ada di dalam
masyarakat. Sedangkan linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari tentang
bahasa atau bidang ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Bidang
ini juga mengkaji fenomena masyarakat dan berhubung kaitan dengan bidang sain
sosial seperti Antropologi seperti sistem kerabat. Antropologi bisa juga
melibatkan geografi dan sosiologi serta psikologi sosial”.
Bahasa pada hakikatnya digunakan untuk komunikasi
interaktif. Oleh sebab itu, kajian yang cocok untuk itu adalah kajian tentang
fungsi komunikatif bahasa: apa yang diketahui anak tentang berbicara dengan
ank-anak yang lain?
Wacana: Tentang bulir-bulir wacana yang berhubungan (hubungan
antara kalimat-kalimat; interaksi antara pendengar dan pembicara; isyarat percakapan).
Dalam perspektif semacam itu, jantung bahasa, fungsi pragmatik dan komunikatif
dikaji dengan segala variabilitasnya. Menurut
pendapat para ahli bahasa tentang wacana mengingatkan kita pada pemahaman bahwa
wacana adalah: (1) perkataan, ucapan, tutur yang merupakan satu kesatuan; (2)
keseluruhan tutur. (Adiwimarta, dkk, 1983) Dalam hal ini, wacana digambarkan
wujudnya dengan keseluruhan tutur yang menggambarkan muatan makna (simantik)
yang di dukung wacan (Djajasudarma, 2006: 2)
Psikolinguistik: Menurut Suparwa (2008: 2) psikolinguistik merupakan importasi teori-teori linguistik untuk mengkaji proses-proses mental yang
mendasari pemakaian bahasa, termasuk di dalamnya produksi bahasa, persepsi
bahasa, dan pemerolehan/belajar bahasa.
a. Peristiwa Tutur
Yang
dimaksud dengan peristiwa tutur adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi
linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu
penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, didalam tempat, waktu dan
situasi tertentu.
Dell Hymes mengatakan bahwa peristiwa tutur harus memenuhi delapan
komponen, yang dikenal dengan speaking.
Kedelapan komponen tersebut adalah:
1) S (Setting and Scene) :
Waktu, tempat dan situasi yang berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi bahasa
yang berbeda.
2) P (Participants) :
pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, biasa pembicara dan pendengar,
penyapa dan pesapa atau pengirim pesan dan penerima pesan.
3) E (End : purupose and goal) : merujuk pada maksud dan tujuan
pertuturan peristiwa yang terjadi pada ruang pengadilan bermaksud untuk
menyelesaikan suatu perkara, namun para partisipan di dalam peristiwa tutur itu
mempunyai tujuan yang berbeda.
4) A (Act Sequences) :Bentuk
ujaran dalam perkuliahan, dalam percakapan biasa dan dalam pesta pasti berbeda.
Begitu juga dengan isi yang dibicarakan
5) K (Key : tone or spirit of Act)
: mengacu pada nada, cara dan semangat dimana
suatu pesan disampaikan
6) I (Instrumentalities) : mengacu pada jalur bahasa yang digunakan,
seperti jalur lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon.
7) N (Norm of interaction and
interpretation) : mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi.
8) G (Genres) : mengacu pada
jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, doa dan sebagainya.
b. Tindak Tutur
Kegiatan berkomunikasi tentunya melakukan suatu proses tindak tutur.
Salah satu teori tindak tutur Austin (dalam Sumarsono, 2002: 322) membedakan
daya ilokusioner dan daya perlokusioner yang ada pada tindak tutur, di samping
daya lokusi. Menurut Austin, mengucapkan sesuatu adalah melakukan sesuatu, dan
bahasa atau tutur dapat dipakai untuk membuat kejadian karena kebanyakan ujaran
yang merupakan tindak tutur, mempunyai
daya-daya.
1. Daya lokusi adalah suatu ujaran makna dasar dan
refrensi (makna yang diacu) oleh ujaran itu;
2. Daya Ilokusi adalah daya yang ditimbulkan oleh
penggunaannya sebagai perintah, ejekan, keluhan, janji, pujian, dan sebagainya.
3. Daya Perlokusi adalah hasil atau efek ujaran
terhadap pendengarnya, baik yang nyata maupun yang diharapkan.
Pada dataran sosiolinguitik dalam proses intraksi sosial pada
pembelajaran bahasa ini terkait juga dengan proses alih kode dan campur kode.
a. Alih Kode
Appel
(1976) dalam Abdul chaer dan Leoni
agustina (2004) mendefinisikan alih kode sebagai gejala peralihan
pemakaian bahasa karena berubahnya situasi. Sementara Hymes (1875) dalam Abdul
chaer dan Leoni agustina (2004)
mengatakan bahwa alih kode itu bukan hanya terjadi antar bahasa, tetapi dapat
juga terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa.
Berdasarkan pendapat para ahli
diatas, maka dapat disimpulkan bahwa alih kode merupakan pengalihan dua bahasa
atau lebih, pengalihan ragam bahasa dari ragam santai ke ragam resmi yang
berkenaan dengan berubahnya situasi dari situasi formal ke tidak formal atau
sebaliknya, dan dilakukan dengan sadar dan bersebab.
Abdul chaer
dan Leoni agustina (2004 : 108)
mengemukakan sebab-sebab terjadinya alih kode sebagai berikut.
1. Pembicara
atau penutur;
2. Pendengar
atau lawan tutur;
3. Perubahan
situasi dengan hadirnya orang ketiga;
4. Perubahan
dari formal ke informal atau sebaliknya; dan
5. Perubahan
topik pembicaraan.
b. Campur Kode
Berbicara mengenai campur kode biasanya selalu diikuti
dengan pembicaraan mengenai campur kode, kedua peristiwa ini sama-sama lazim
digunakan dalam masyarakat bilingual bahkan karena kesamaan yang besar antara
dua peristiwa ini sehingga sering kali sukar dibedakan.
Abdul chaer dan Leoni
agustina (2004 : 114) mengatakan bahwa kesamaan yang ada antara alih
kode dan campur kode adalah digunakannya dua bahasa atau lebih, atau dua varian
dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur. Sedangkan perbedaan keduanya
adalah dalam alih kode setiap bahasa atau ragam bahasa yang digunakan itu masih
memiliki fungsi otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan sengaja
dengan sebab-sebab tertentu. Sedangakan dalam campur kode ada sebuah kode utama
atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi dan keotonomiannya,
sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah
berupa serpihan-serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi atau keotonomian sebagai
sebuah kode.
2.4
Aplikasi
Pembelajaran
Bahasa
Dalam Kontek Sosial
Proses
pembelajaran bahasa dalam konteks sosial, sebagaimana pembelajaran itu sendiri
merupakan pemerolehan pengetahuan tentang suatu subjek atau sebuah keterampilan
dengan belajar, pengalaman, atau instruksi. Aplikasi pembelajaran bahasa dalam
konteks sosial bisa diterapkan baik dalam bentuk pendidikan formal dan
informal. Di mana pendidikan formal bisa dilakukan dalam lingkungan sekolah itu
sendiri, dan pembelajaran informal bisa di laksanakan di tengah-tengah
lingkungan masyarakat. Terkait dengan teori pembelajaran bahasa dalam konteks
sosial lebih terpacu menggunakan teori Kognitivisme, Konstrukstivisme,
Humanisme, dan Fungsional. Ke-empat teori ini lebih menekankan pada asfek
pematangan dalam pemerohan dan penggunaan bahasa serta bagaimana bahasa itu difungsikan
sebagai alat komunikasi.
a. Pembelajaran
Bahasa Bentuk Alih Kode dan Campur Kode
Contoh:
Tahap pertama : seorang guru memberikan contoh ulasan
kata-kata dengan menggunakan teknik campur kode dan alih kode. Dengan contoh
cuplikan sebagai berikut:
Alih Kode
SEORANG PETUGAS YANG BEKERJA DI SEBUAH KANTOR PEMERINTAH SEDANG MELAYANI
SEORANG PEREMPUAN YANG AKAN MEMBUAT SURAT TANDA MENCARI PEKERJAAN.
P1 : Ijazahnya sudah dibawa semua?
P2 : Ini, pak.
P1 : Lho, dari Lombok yah?
P2 : Iya, pak.
P1 : kembeq ndeq boyaq pegawean leq lombok? Kan
lueq pegawean leq to.
P2 : ndaraq, pete-pete nasip leq te, pak.
KONTEKS :SEORANG KEPALA SEKOLAH YANG TENGAH
MENYAMPAIKAN SAMBUTAN SAAT UPACARA BENDERA YANG RUTIN DIADAKAN PADA HARI SENIN.
Kepsek
:”...Anak-anak yang Bapak cintai, seperti yang kalian ketahui bahwa ujian
sebentar lagi tiba. Bapak tidak akan pernah capek untuk mengingatkan belajar,
belajar, dan belajar! Den ndeq bekedeq doang, pacu-pacu entan belajah kateqem
tao dan keteqem lulus ujian lemaq. Kalian harus membuktikan pada orang tua
kalian bahwa kalian bisa mendapatkan nilai yang terbaik. Khusus untuk kelas
tiga, ingat ya. Jadi pacu-pacu entan belajah aoq jaga nama baik sekolah serta
berikan yang terbaik untuk sekolah kita.
Tahap kedua: selanjutnya pendidik menyuruh siswa
menerjemahkan bahasa ibu yang digunakan dalam cuplikan tersebut ke dalam bahasa
indonesia atau B2.
Tahap ke tiga: pendidik menyuruh siswa untuk menyusun
kembali cuplikan yang sudah di artikan dari bahasa B1 menjadi bahasa indonesia B2 tersusun dengan
baik.
b. Proses
tindak tutur lokusi, ilokusi, dan perlokusi.
Contoh:
Salah satu penerapan di
dalam pembelajaran bahasa dalam konteks sosial. Seorang pendidik bisa
menerapkan “Pembelajaran Berbasis Masalah.”
Tahap pertama :
pendidik mengarahkan peserta didik melihat bagaimana proses terjadinya
komunikasi di lingkungan masyarakat.
Tahap kedua :
guru memberikan tugas tentang mamahami maksud dari bahasa yang digunakan oleh penutur dan mitra tutur yang
ada di lingkungan masyarakat.
Sebagai contoh ulasan cuplikan yang ada di masyarakat:
MS : Rumah yang besar ini punya bapak?
N : iya, pak ini
rumah saya.
MS: Rumahnya bapak bersih sekali, ibu kemana?
N : aaahh.
Maklum pak rumah tua, dan ibu sering sibuk.
MS : ooo,, pantesan rumah bapak seperti kapal pecah.
Dari cuplikan di atas, kalimat “Rumah yang
besar ini punya bapak?” ini
menunjukkan Lokusi kalimat itu menggambarkan keadaan
rumah yang dimiliki pendengarnya
bahwa rumah itu memang besar. “Rumahnya
bapak bersih sekali, ibu kemana?” ini menunjukkan Ilokusi kalimat yang
berupa pujian jika memang benar rumah itu bagus, dan jika rumah itu pada
kenyataannya tidak bersih maka itu bersifat ejekan. Sedangkan dari perlokusinya
“aaahh. Maklum pak rumah tua, dan ibu
sering sibuk” ungkapan tersebut merupakan ungkapan tanggapan dari Si
pendengar yang merasa malu karena pada knyataannya rumah itu tidak bersih.
Tahap ketiga: guru menyuruh siswa untuk memaknai ungkapan
bahasa yang di peroleh di tengah-tengah lingkungan masyarakat.
Tahap selanjutnya: guru memberikan arahan tentang
hasil yang diperoleh oleh siswa dalam memaknai maksud dari bahasa-bahasa yang
di ungkapkan oleh masyarakat itu.
Berdasarkan penjelasan contoh di atas, terdapat suatu
implementasi teori kognitif, konstruktif, fungsional, dan humanis. Di mana
peserta didik memperoleh pengetahuan tentang penggunaan bahasa kedua (B2) yang
digunakan di masyarakat sebagai alat komunikasi serta mengerti tentang maksud
ungkapan-ungkapan bahasa sesuai dengan fungsi bahasa itu sendiri sesuai dengan
kematangan pemikiran seorang anak.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan hasil pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa di dalam
pembelajaran bahasa dalam konteks sosial teori yang digunakan adalah teori
kognitivisme, teori konstruktivisme, teori fungsional, dan teori humanisme. Di
mana teori-teori tersebut berkaitan dengan kematangan daya pikir seorang anak
melaui aspek kognitif di dalam mempelajari bahasa serta menggunakan bahasa untuk
berkomunikasi dan berintraksi di lingkungan sosial atau masyarakat pada
umumnya.
Selanjutnya bentuk dari pembelajaran bahasa dalam konteks sosial berupa
proseses terjadinya peristiwa tutur,
baik dalam bentuk tindak tutur lokusi, ilokusi, dan perlokusi serta interaksi
sosial dalam bentuk alih kode dan campur kode pada konteks wacana,
sosiolingistik, dan psikologi di dalam pemerolehan bahasa kedua (B2) sebagai
sarana berkomunikasi serta berintraksi di lingkungan sosial.
3.2 Saran
Berdasarkan
penjelasan dari isi makalah sederhana ini yang membahas tentang “pembelajaran
bahasa dalam konteks sosial” tidak terlepas dari
rangkaian kalimat dan ejaan penulisannya. Kami menyadari bahwa masih jauh dari
kesempurnaan seperti yang diiharapkan oleh pembaca dan pada khususnya dosen
pengampu mata kuiah ini. Oleh karena itu kami mengharapkan kepada para pembaca
atau mahasiswa serta dosen pengampu kritik dan saran yang bersifat konstruktif
dalam terselesainya makalah selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Chaer, Abdul. dan Leoni Agustina.
2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal.
Jakarta : Rineka Cipta.
Djajasudarma, T. Fatimah. 2006. Wacana Pemahaman dan Hubungan Antarunsur.
Bandung: Refika Aditama.
Rahardi, R. Kunjana. 2001. Sosiolinguistik, Kode dan Alih Kode.
Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Suparwa, I Nyoman. 2008. “Buku Ajar
Psikolinguistik”. Denpasar : Universitas Udayana.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa.
2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta:
Pusat Bahasa.