Kamis, 13 November 2014

PEMBELAJARAN BAHASA DALAM KONTEKS SOSIAL



PEMBELAJARAN BAHASA DALAM KONTEKS SOSIAL

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Bahasa merupakan sebuah ujaran yang di keluarkan melalui alat ucap manusia yang dijadikan sebagai sarana komunikasi bagi masyarakat secara umum. Melalui bahasa manusia bisa berinteraksi dengan antarsesamanya sehingga mampu menciptakan isyarat-isyarat yang digunakan oleh orang-orang untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, emosi dan keinginan. Dengan definisi lain, bahasa adalah alat yang digunakan untuk mendiskripsikan ide, pikiran atau tujuan melalui struktur kalimat atau sistem yang dapat dipahami oleh orang lain. Jika bahasa tidak bersifat sistematis atau tidak berstruktur maka bahasa itu tidak mempunyai arti.
Bahasa sangat erat kaitannya dengan masyarakat, karena bahasa merupakan suatu budaya atau hasil karya manusia yang dapat diwariskan kepada anak turunannya. Dalam setiap komunikasi atau proses interaksi maka terjadi peristiwa tutur dan tindak tutur. Sedangkan ilmu yang mempelajari tentang hubungan timbal balik antara bahasa masyarakat adalah Sosiolinguistik, serta intraksi antarmasyarakat merupakan sebuah wacana di dalam kehidupan masyarakat yang digunakan untuk berkomunikasi.
Salah satu objek pemikiran manusia adalah bagaimana manusia dapat berbahasa. Pendapat para ahli tentang belajar bahasa tersebut bermacam-macam. Di antara pendapat mereka ada yang bertentangan namun ada juga yang saling mendukung dan melengkapi. Pemikiran para ahli tentang teori belajar bahasa ini begitu variatif dan menarik.
Bahasa dijadikan sebuah pembelajaran, di mana bahasa ini mengkaji tentang bagaimana proses pemerolehan bahasa pertama (B1) dan bagaimana proses pembelajaran bahasa kedua (B2). Di dalam pembelajaran bahasa tidak akan pernah terlepas dengan teori-teori pendukung dalam pembelajaran. Pada kajian ini membahas tentang pembelajaran bahasa dalam konteks sosial, maka teori-teori yang digunakan, yakni teori kognitivisme, kontruktivisme, fungsional, dan humanisme. Keterkaitan pembelajaran bahasa dalam konteks sosial sangat erat kaitannya dengan pemerolehan bahasa kedua (B2) di mana pada intraksi sosial yang lebih berperan aktif yakni kognitif seorang anak dan bagaimana seorang anak bisa memfungsikan bahasa sebagai alat komunikasi.
1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang telah dipapar pada latar belakang di atas, maka yang dijadikan sebagai rumusan masalah sebagai berikut:
1.      bagaimanakah bentuk pembelajaran bahasa dalam kontek sosial?
2.      Apa saja teori yang digunakan dalam pembelajaran bahasa dalam konteks sosial?
1.3  Rumusan Masalah
Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam makalah ini sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui pembelajaran bahasa dalam konteks sosial.
2.      Untuk mengetahui teori yang digunakan dalam pembelajaran bahasa dalam konteks sosial.
1.4  Manfaat Penulisan
Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penulisan makalah ini adalah dapat menambah khazanah teoretis baik bagi penulis maupun para pembaca khususnya berkaitan dengan teori pembelajaran dalam konteks sosial Sehingga para pembaca dapat mengetahui suatu teori pembelajaran bahasa.






BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Pembelajaran
Pembelajaran merupakan penguasaan atau pemerolehan pengetahuan tentang suatu subjek atau sebuah keterampilan dengan belajar, pengalaman, atau instruksi (Brwon, 2000: 8). Komponen difinisi di dalam pembelajaran, kita bisa mendapatkan seperti yang kita dapati dalam bahasa, yakni.
1.      Belajar adalah menguasai atau “memeroleh”
2.      Belajar adalah mengingat-ingat informasi atau keterampilan
3.      Mengingat-ingat itu melibatkan sistem penyimpanan, memori, organisasi kognitif.
4.      Belajar melibatkan perhatian aktif-sadar pada dan bertindak menurut peristiwa-peristiwa di luar serta di dalam organisme.
5.      Belajar itu relatif permanen tetapi tetapi tunduk pada lupa.
6.      Belajar itu melibatkan berbagai bentuk latihan, mungkin latihan yang ditopang dengan imbalan dan hukuman.
7.      Belajar adalah sebuah perubahan dalam perilaku.
2.2 Toeri Pembelajaran
Dalam penerapan teori yang digunakan pada persfektif pembelajaran bahasa dalam konteks sosial, yakni teori Kognitivisme, Konstruktivisme, dan Fungsional.

a.      Teori Kognitivisme
 Golongan kognitivistik mencoba mengusulkan pendekatan baru dalam studi pemerolehan bahasa. Pendekatan tersebut mereka namakan pendekatan kognitif. Jika pendekatan kaum behavioristik bersifat empiris maka pendekatan yang dianut golongan kognitivistik lebih bersifat rasionalis. Konsep sentral dari pendekatan ini yakni kemampuan berbahasa seseorang berasal dan diperoleh sebagai akibat dari kematangan kognitif sang anak. Mereka beranggapan bahwa bahasa itu distrukturkan atau dikendalikan oleh nalar manusia. Oleh sebab itu perkembangan bahasa harus berlandas pada atau diturunkan dari perkembangan dan perubahan yang lebih mendasar dan lebih umum di dalam kognisi manusia. Dengan demikian urutan-urutan perkembangan kognisi seorang anak akan menentukan urutan-urutan perkembangan bahasa dirinya.
Laughlin dalam Elizabeth (1993: 54) berpendapat bahwa dalam belajar bahasa seorang anak perlu proses pengendalian dalam berinteraksi dengan lingkungan. Pendekatan kognitif dalam belajar bahasa lebih menekankan pemahaman, proses mental atau pengaturan dalam pemerolehan, dan memandang anak sebagai seseorang yang berperan aktif dalam proses belajar bahasa.
Selanjutnya menurut Piaget dalam Mansoer Pateda (1990: 67), salah seorang tokoh golongan ini mengatakan bahwa struktur komplek dari bahasa bukanlah sesuatu yang diberikan oleh alam dan bukan pula sesuatu yang dipelajari lewat lingkungan. Struktur tersebut lahir dan berkembang sebagai akibat interaksi yang terus menerus antara tingkat fungsi kognitif si anak dan lingkungan lingualnya. Struktur tersebut telah tersedia secara alamiah. Perubahan atau perkembangan bahasa pada anak akan bergantung pada sejauh mana keterlibatan kognitif sang anak secara aktif dengan lingkungannya. Proses belajar bahasa terjadi menurut pola tahapan perkembangan tertentu sesuai umur.
b.      Teori Konstruktvisme
Jean Piaget dan Leu Vygotski adalah dua nama yang selalu diasosiasikan dengan kontruktivisme. Ahli kontruktivisme menyatakan bahwa manusia membentuk versi mereka sendiri terhadap kenyataan, mereka menggandakan beragam cara untuk mengetahui dan menggambarkan sesuatu untuk mempelajari pemerolehan bahasa pertama dan kedua. Pembelajaran harus dibangun secara aktif oleh pembelajar itu sendiri dari pada dijelaskan secara rinci oleh orang lain. Dengan demikian pengetahuan yang diperoleh didapatkan dari pengalaman.
Namun demikian, dalam membangun pengalaman siswa harus memiliki kesempatan untuk mengungkapkan pikirannya, menguji ide-ide tersebut melalui eksperimen dan percakapan atau tanya jawab, serta untuk mengamati dan membandingkan fenomena yang sedang diujikan dengan aspek lain dalam kehidupan mereka. Selain itu juga guru memainkan peranan penting dalam mendorong siswa untuk memperhatikan seluruh proses pembelajaran serta menawarkan berbagai cara eksplorasi dan pendekatan.
c.       Teori Fungsional
Dengan munculnya kontruktivisme dalam dunia psikologi, dalam tahun-tahun terakhir ini menjadi lebih jelas bahwa belajar bahasa berkembang dengan baik di bawah gagasan kognitif dan struktur ingatan. Para peneliti bahasa mulai melihat bahwa bahasa merupakan manifestasi kemampuan kognitif dan efektif untuk menjelajah dunia, untuk berhubungan dengan orang lain dan juga keperluan terhadap diri sendiri sebagai manusia.
Halliday dan wilkins mempelopori teori fungsional. Teori ini berkembang pada tahun 1960-an dan 1970-an. Ia mengatakan teori fungsional mengkaji bahasa dari segi struktur dan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi. Di samping itu, mereka menganggap bahwa bahasa sebagai alat pertuturan. Ia menyetujui bahwa kewujudan variasi dalam penggunaan bahasa tidak boleh dinafikan. Penggunaan bahasa dapat menggambarkan fikiran dan emosi penutur.
Lebih lagi kaedah generatif yang diusulkan di bawah naungan nativisme itu bersifat abstrak, formal, eksplisit dan logis, meskipun kaidah itu lebih mengutamakan pada bentuk bahasa dan tidak pada tataran fungsional yang lebih dari makna yang dibentuk dari makna yang dibentuk dari interaksi sosial.

a. Kognisi dan perkembangan bahasa
Piaget menggambarkan penelitian itu sebagai interaksi anak dengan lingkungannya dengan interaksi komplementer antara perkembangan kapasitas kognitif perseptual dengan pengalaman bahasa mereka. Penelitian itu berkaitan dengan hubungan antara perkembangan kognitif dengan pemerolehan bahasa pertama. Slobin menyatakan bahwa dalam semua bahasa, belajar makna bergantung pada perkembangan kognitif dan urutan perkembangannya lebih ditentukan oleh kompleksitas makna itu dari pada kompleksitas bentuknya. Menurut dia ada dua hal yang menentukan model:
1) Pada asas fungsional, perkembangan diikuti oleh perkembangan kapasitas komunikatif dan konseptual yang beroperasi dalam konjungsi dengan skema batin konjungsi.
2) Pada asas formal, perkembangan diikuti oleh kapasitas perseptual dan pemerosesan informasi yang bekerja dalam konjungsi dan skema batin tata bahasa.
b. Interaksi Sosial dan Perkembangan Bahasa
Akhir-akhir ini semakin jelas bahwa fungsi bahasa berkembang dengan baik di luar pikiran kognitif dan struktur memori. Di sini tampak bahwa kontruktivis sosial menekankan prespektif fungsional. Bahasa pada hakikatnya digunakan untuk komunikasi interaktif. Oleh sebab itu kajian yang cocok untuk itu adalah kajian tentang fungsi komunikatif bahasa, fungsi pragmatik dan komunikatif dikaji dengan segala variabilitasnya.

2.3 Bahasa Dalam Konteks Sosial
Akhir-akhir ini semakin jelaslah bahwa fungsi bahasa berkembang dengan baik di luar pikiran kognitif dan struktur memori. Di sini tampak bahwa konstruktivis sosial menekankan pada perspektif fungsional. Dalam model resiprokalnya tentang perkembangan bahasa, Holzman (1984) menyatakan bahwa sebuah sistem behavioral resiprokal bekerja di antara bahasa yang dikembangkan bayi-anak dan pengguna bahasa dewasa yang kompeten di dalam peran socializing-teaching-nurturing. Beberapa penelitian mengkaji interaksi antara pemerolehan bahasa anak dan pembelajaran tentang bagaimana sistem itu bekerja di dalam perilaku manusia.
Bahasa adalah alat interaksi yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tumbuh kembangnya manusia sebagai pengguna bahasa itu sendiri. Menurut Abd al-Majid (1952:15), bahasa adalah kumpulan isyarat yang digunakan oleh orang-orang untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, emosi dan keinginan. Dengan definisi lain, bahasa adalah alat yang digunakan untuk mendiskripsikan ide, pikiran atau tujuan melalui struktur kalimat atau sistem yang dapat dipahami oleh orang lain. Jika bahasa tidak bersifat sistematis atau tidak berstruktur maka bahasa itu tidak mempunyai arti.
Bahasa dalam konteks sosial meliputi tataran Sosiolinguistik, Wacana, dan Psikolinguistik.
Sosiolinguistik: Hubungan antara bahasa dengan konteks sosial tersebut dipelajari dalam bidang Sosiolinguistik, sebagaimana yang dikemukakan oleh Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin sosiologi dan linguistik. Menurut Abdul chaer dan Leoni Agustina (linguistik perkenalan awal, 2004: 2-4) mendefinisikan sosiologi merupakan kajian yang objektif dan ilmiah mengenai manusia di dalam masyarakat dan mengenai lembaga-lembaga, dan proses sosial yang ada di dalam masyarakat. Sedangkan linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari tentang bahasa atau bidang ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Bidang ini juga mengkaji fenomena masyarakat dan berhubung kaitan dengan bidang sain sosial seperti Antropologi seperti sistem kerabat. Antropologi bisa juga melibatkan geografi dan sosiologi serta psikologi sosial”. Bahasa pada hakikatnya digunakan untuk komunikasi interaktif. Oleh sebab itu, kajian yang cocok untuk itu adalah kajian tentang fungsi komunikatif bahasa: apa yang diketahui anak tentang berbicara dengan ank-anak yang lain?

Wacana: Tentang bulir-bulir wacana yang berhubungan (hubungan antara kalimat-kalimat; interaksi antara pendengar dan pembicara; isyarat percakapan). Dalam perspektif semacam itu, jantung bahasa, fungsi pragmatik dan komunikatif dikaji dengan segala variabilitasnya. Menurut pendapat para ahli bahasa tentang wacana mengingatkan kita pada pemahaman bahwa wacana adalah: (1) perkataan, ucapan, tutur yang merupakan satu kesatuan; (2) keseluruhan tutur. (Adiwimarta, dkk, 1983) Dalam hal ini, wacana digambarkan wujudnya dengan keseluruhan tutur yang menggambarkan muatan makna (simantik) yang di dukung wacan (Djajasudarma, 2006: 2)
Psikolinguistik: Menurut Suparwa (2008: 2) psikolinguistik merupakan importasi teori-teori linguistik untuk mengkaji proses-proses mental yang mendasari pemakaian bahasa, termasuk di dalamnya produksi bahasa, persepsi bahasa, dan pemerolehan/belajar bahasa.
a.      Peristiwa Tutur
Yang dimaksud dengan peristiwa tutur adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, didalam tempat, waktu dan situasi tertentu.
Dell Hymes mengatakan bahwa peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang dikenal dengan speaking. Kedelapan komponen tersebut adalah:
1) S (Setting and Scene) : Waktu, tempat dan situasi yang berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda.
2) P (Participants) : pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, biasa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa atau pengirim pesan dan penerima pesan.
3)  E (End : purupose and goal) : merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan peristiwa yang terjadi pada ruang pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan suatu perkara, namun para partisipan di dalam peristiwa tutur itu mempunyai tujuan yang berbeda.
4) A (Act Sequences) :Bentuk ujaran dalam perkuliahan, dalam percakapan biasa dan dalam pesta pasti berbeda. Begitu juga dengan isi yang dibicarakan
5) K (Key : tone or spirit of Act) : mengacu pada nada, cara dan semangat dimana  suatu pesan disampaikan
6) I  (Instrumentalities) : mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon.
7) N (Norm of interaction and interpretation) : mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi.
8) G (Genres) : mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, doa dan sebagainya.

b. Tindak Tutur
Kegiatan berkomunikasi tentunya melakukan suatu proses tindak tutur. Salah satu teori tindak tutur Austin (dalam Sumarsono, 2002: 322) membedakan daya ilokusioner dan daya perlokusioner yang ada pada tindak tutur, di samping daya lokusi. Menurut Austin, mengucapkan sesuatu adalah melakukan sesuatu, dan bahasa atau tutur dapat dipakai untuk membuat kejadian karena kebanyakan ujaran yang merupakan  tindak tutur, mempunyai daya-daya.
1. Daya lokusi adalah suatu ujaran makna dasar dan refrensi (makna yang diacu) oleh ujaran itu;
2. Daya Ilokusi adalah daya yang ditimbulkan oleh penggunaannya sebagai perintah, ejekan, keluhan, janji, pujian, dan sebagainya.
3. Daya Perlokusi adalah hasil atau efek ujaran terhadap pendengarnya, baik yang nyata maupun yang diharapkan.
Pada dataran sosiolinguitik dalam proses intraksi sosial pada pembelajaran bahasa ini terkait juga dengan proses alih kode dan campur kode.
a.  Alih Kode
Appel (1976) dalam Abdul chaer dan Leoni  agustina (2004) mendefinisikan alih kode sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi. Sementara Hymes (1875) dalam Abdul chaer dan Leoni  agustina (2004) mengatakan bahwa alih kode itu bukan hanya terjadi antar bahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa.
            Berdasarkan pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa alih kode merupakan pengalihan dua bahasa atau lebih, pengalihan ragam bahasa dari ragam santai ke ragam resmi yang berkenaan dengan berubahnya situasi dari situasi formal ke tidak formal atau sebaliknya, dan dilakukan dengan sadar dan bersebab.
Abdul chaer dan Leoni  agustina (2004 : 108) mengemukakan sebab-sebab terjadinya alih kode sebagai berikut.
1. Pembicara atau penutur;
2. Pendengar atau lawan tutur;
3. Perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga;
4. Perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya; dan
5. Perubahan topik pembicaraan.
b.  Campur Kode
Berbicara mengenai campur kode biasanya selalu diikuti dengan pembicaraan mengenai campur kode, kedua peristiwa ini sama-sama lazim digunakan dalam masyarakat bilingual bahkan karena kesamaan yang besar antara dua peristiwa ini sehingga sering kali sukar dibedakan.
Abdul chaer dan Leoni  agustina (2004 : 114) mengatakan bahwa kesamaan yang ada antara alih kode dan campur kode adalah digunakannya dua bahasa atau lebih, atau dua varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur. Sedangkan perbedaan keduanya adalah dalam alih kode setiap bahasa atau ragam bahasa yang digunakan itu masih memiliki fungsi otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan sengaja dengan sebab-sebab tertentu. Sedangakan dalam campur kode ada sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode.


2.4  Aplikasi Pembelajaran Bahasa Dalam Kontek Sosial
Proses pembelajaran bahasa dalam konteks sosial, sebagaimana pembelajaran itu sendiri merupakan pemerolehan pengetahuan tentang suatu subjek atau sebuah keterampilan dengan belajar, pengalaman, atau instruksi. Aplikasi pembelajaran bahasa dalam konteks sosial bisa diterapkan baik dalam bentuk pendidikan formal dan informal. Di mana pendidikan formal bisa dilakukan dalam lingkungan sekolah itu sendiri, dan pembelajaran informal bisa di laksanakan di tengah-tengah lingkungan masyarakat. Terkait dengan teori pembelajaran bahasa dalam konteks sosial lebih terpacu menggunakan teori Kognitivisme, Konstrukstivisme, Humanisme, dan Fungsional. Ke-empat teori ini lebih menekankan pada asfek pematangan dalam pemerohan dan penggunaan bahasa serta bagaimana bahasa itu difungsikan sebagai alat komunikasi.
a.      Pembelajaran Bahasa Bentuk Alih Kode dan Campur Kode
Contoh:
Tahap pertama : seorang guru memberikan contoh ulasan kata-kata dengan menggunakan teknik campur kode dan alih kode. Dengan contoh cuplikan sebagai berikut:
Alih  Kode
SEORANG PETUGAS YANG BEKERJA DI SEBUAH KANTOR PEMERINTAH SEDANG MELAYANI SEORANG PEREMPUAN YANG AKAN MEMBUAT SURAT TANDA MENCARI PEKERJAAN.
P1   : Ijazahnya sudah dibawa semua?
P2   : Ini, pak.
P1   : Lho, dari Lombok yah?
P2   : Iya, pak.
P1   : kembeq ndeq boyaq pegawean leq lombok? Kan lueq pegawean leq to.
P2   : ndaraq, pete-pete nasip leq te, pak.

KONTEKS :SEORANG KEPALA SEKOLAH YANG TENGAH MENYAMPAIKAN SAMBUTAN SAAT UPACARA BENDERA YANG RUTIN DIADAKAN PADA HARI SENIN.
Kepsek :”...Anak-anak yang Bapak cintai, seperti yang kalian ketahui bahwa ujian sebentar lagi tiba. Bapak tidak akan pernah capek untuk mengingatkan belajar, belajar, dan belajar! Den ndeq bekedeq doang, pacu-pacu entan belajah kateqem tao dan keteqem lulus ujian lemaq. Kalian harus membuktikan pada orang tua kalian bahwa kalian bisa mendapatkan nilai yang terbaik. Khusus untuk kelas tiga, ingat ya. Jadi pacu-pacu entan belajah aoq jaga nama baik sekolah serta berikan yang terbaik untuk sekolah kita.
Tahap kedua: selanjutnya pendidik menyuruh siswa menerjemahkan bahasa ibu yang digunakan dalam cuplikan tersebut ke dalam bahasa indonesia atau B2.
Tahap ke tiga: pendidik menyuruh siswa untuk menyusun kembali cuplikan yang sudah di artikan dari bahasa B1  menjadi bahasa indonesia B2 tersusun dengan baik.

b.      Proses tindak tutur lokusi, ilokusi, dan perlokusi.
Contoh:
Salah satu penerapan di dalam pembelajaran bahasa dalam konteks sosial. Seorang pendidik bisa menerapkan “Pembelajaran Berbasis Masalah.”
Tahap pertama   : pendidik mengarahkan peserta didik melihat bagaimana proses terjadinya komunikasi di lingkungan masyarakat.
Tahap kedua      : guru memberikan tugas tentang mamahami maksud dari bahasa yang  digunakan oleh penutur dan mitra tutur yang ada di lingkungan masyarakat.
Sebagai contoh ulasan cuplikan yang ada di masyarakat:
MS : Rumah yang besar ini punya bapak?
N   : iya, pak ini rumah saya.
MS: Rumahnya bapak bersih sekali, ibu kemana?
N   : aaahh. Maklum pak rumah tua, dan ibu sering sibuk.
MS : ooo,, pantesan rumah bapak seperti kapal pecah.
Dari cuplikan di atas, kalimat Rumah yang besar ini punya bapak?” ini menunjukkan Lokusi kalimat itu menggambarkan keadaan rumah yang dimiliki pendengarnya bahwa rumah itu memang besar. “Rumahnya bapak bersih sekali, ibu kemana?” ini menunjukkan Ilokusi kalimat yang berupa pujian jika memang benar rumah itu bagus, dan jika rumah itu pada kenyataannya tidak bersih maka itu bersifat ejekan. Sedangkan dari perlokusinya “aaahh. Maklum pak rumah tua, dan ibu sering sibuk” ungkapan tersebut merupakan ungkapan tanggapan dari Si pendengar yang merasa malu karena pada knyataannya rumah itu tidak bersih.

Tahap ketiga: guru menyuruh siswa untuk memaknai ungkapan bahasa yang di peroleh di tengah-tengah lingkungan masyarakat.
Tahap selanjutnya: guru memberikan arahan tentang hasil yang diperoleh oleh siswa dalam memaknai maksud dari bahasa-bahasa yang di ungkapkan oleh masyarakat itu.
Berdasarkan penjelasan contoh di atas, terdapat suatu implementasi teori kognitif, konstruktif, fungsional, dan humanis. Di mana peserta didik memperoleh pengetahuan tentang penggunaan bahasa kedua (B2) yang digunakan di masyarakat sebagai alat komunikasi serta mengerti tentang maksud ungkapan-ungkapan bahasa sesuai dengan fungsi bahasa itu sendiri sesuai dengan kematangan pemikiran seorang anak.


























BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan hasil pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa di dalam pembelajaran bahasa dalam konteks sosial teori yang digunakan adalah teori kognitivisme, teori konstruktivisme, teori fungsional, dan teori humanisme. Di mana teori-teori tersebut berkaitan dengan kematangan daya pikir seorang anak melaui aspek kognitif di dalam mempelajari bahasa serta menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dan berintraksi di lingkungan sosial atau masyarakat pada umumnya.
Selanjutnya bentuk dari pembelajaran bahasa dalam konteks sosial berupa proseses  terjadinya peristiwa tutur, baik dalam bentuk tindak tutur lokusi, ilokusi, dan perlokusi serta interaksi sosial dalam bentuk alih kode dan campur kode pada konteks wacana, sosiolingistik, dan psikologi di dalam pemerolehan bahasa kedua (B2) sebagai sarana berkomunikasi serta berintraksi di lingkungan sosial.
3.2 Saran
Berdasarkan penjelasan dari isi makalah sederhana ini yang membahas tentang “pembelajaran bahasa dalam konteks sosial” tidak terlepas dari rangkaian kalimat dan ejaan penulisannya. Kami menyadari bahwa masih jauh dari kesempurnaan seperti yang diiharapkan oleh pembaca dan pada khususnya dosen pengampu mata kuiah ini. Oleh karena itu kami mengharapkan kepada para pembaca atau mahasiswa serta dosen pengampu kritik dan saran yang bersifat konstruktif dalam terselesainya makalah selanjutnya.







DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. dan Leoni Agustina. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta : Rineka Cipta.
Djajasudarma, T. Fatimah. 2006. Wacana Pemahaman dan Hubungan Antarunsur. Bandung: Refika Aditama.
Rahardi, R. Kunjana. 2001. Sosiolinguistik, Kode dan Alih Kode. Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Suparwa, I Nyoman. 2008. “Buku Ajar Psikolinguistik”. Denpasar : Universitas Udayana.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.